Oleh
Satria Hari Prasetya Hermawan., S.Tr.IP
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi
Dasar Fikiran
Indonesia saat ini tengah menerapkan metode omnibus law yang dimulai dengan pidato Presiden Republik Indonesia Ke – 7 Bapak Joko Widodo pada tanggal 20 Oktober 2019 yang kemudian disahkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Proses pembentukan Undang-Undang ini tidak lepas dari berbagai konflik dan kontroversi, mengingat pengimplementasian metode omnibus law ini belum sepenuhnya diyakini mampu beradaptasi dengan sistem hukum Indonesia yang berbasis Eropa Kontinental.
Berasal dari tradisi hukum Anglo-Saxon, penggunaan omnibus law dalam konteks hukum Indonesia menghadirkan tantangan tersendiri, terutama dalam hal penyeragaman, transparansi dan perlindungan hak-hak buruh. Perdebatan mengenai efektivitas dan keadilan dari undang-undang ini mencerminkan keprihatinan sejumlah kalangan terhadap potensi dampak negatif yang dapat muncul, serta perlunya penyesuaian yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai dan konteks hukum yang berlaku di tanah air.
Penerapan metode omnibus law di Indonesia, khususnya melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, membawa serangkaian tantangan hukum dan etika yang signifikan. Undang-undang ini dirancang untuk menyederhanakan regulasi nasional dengan memadukan berbagai materi hukum, mencakup revisi, pembatalan, hingga pengaturan baru dalam 77 undang-undang terkait.
Meski bertujuan untuk efisiensi, pendekatan semacam ini justru berbenturan dengan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang menekankan pentingnya memastikan setiap undang-undang hanya berisi satu subjek agar mencegah tumpang tindih aturan dan potensi penyalahgunaan wewenang. Konsekuensi dari penerapan metode ini menimbulkan sejumlah kekhawatiran, termasuk berkurangnya transparansi proses legislasi, minimnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, serta munculnya hambatan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Selain itu, pengaburan batas-batas tanggung jawab dalam implementasi kebijakan yang lahir dari undang-undang ini berpotensi mengurangi perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang menjadi sasaran utama dampaknya. Di sisi lain, berdasarkan penelaahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dapat disimpulkan bahwa konstitusi tersebut secara esensial memungkinkan pembentukan undang-undang yang mencakup lebih dari satu objek, asalkan pengaturannya dilakukan melalui proses legislasi sejak awal, bukan pada tahap revisi atau perubahan.
Namun demikian, pendekatan legislasi yang diterapkan melalui metode omnibus law pada masa kini mencerminkan adanya pergeseran paradigma, di mana proses legislasi tidak hanya menciptakan aturan baru tetapi juga menghapus atau mencabut ketentuan yang sebelumnya telah ada. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam terkait konsistensi pendekatan tersebut dengan prinsip-prinsip dasar yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sekaligus menyoroti bagaimana metode omnibus law dapat diintegrasikan secara harmonis ke dalam sistem hukum nasional yang lebih luas.
Dalam konteks ini, diperlukan kajian kritis untuk mengevaluasi efektivitas serta dampak penerapan metode omnibus law terhadap tata kelola regulasi di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa metode tersebut mampu menghasilkan kerangka regulasi yang lebih efisien dan komprehensif tanpa mengesampingkan nilai-nilai konstitusional yang terkandung dalam semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Evaluasi yang mendalam juga dibutuhkan untuk menilai apakah pendekatan tersebut dapat benar-benar menjadi solusi jangka panjang bagi kompleksitas sistem regulasi, atau justru memunculkan tantangan baru dalam upaya pembangunan sistem hukum nasional yang lebih solid dan berdaya tahan.
Permasalahan
Implementasi metode omnibus law dalam proses legislasi, seperti yang diwakili oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, menimbulkan sejumlah persoalan krusial dari perspektif hukum. Salah satu permasalahan utama yang patut mendapatkan perhatian ilmiah adalah ketidaksesuaian antara teknik perumusan pasal-pasal dalam undang-undang ini dengan pedoman yang diatur dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Ketidakpatuhan terhadap standar normatif tersebut berpotensi melahirkan ambiguitas interpretasi hukum yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya sengketa hukum di kemudian hari.
Dalam penerapan konsep omnibus law berdasarkan regulasi dimaksud, terdapat beberapa implikasi yuridis yang perlu mendapatkan perhatian serius. Kejelasan, konsistensi dan keterbukaan menjadi elemen esensial yang harus senantiasa dijamin pada setiap tahap proses legislasi. Di samping itu, mekanisme implementasi yang komprehensif dalam penyusunan peraturan daerah juga memiliki peran krusial guna memastikan bahwa produk hukum yang dihasilkan tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk perlunya melibatkan partisipasi publik secara bermakna.
Dengan demikian, kondisi ini menuntut dilakukannya pengkajian ulang serta penyesuaian baik dalam prosedur maupun substansi peraturan perundang-undangan agar selaras dengan tujuan fundamental dari penerapan metode omnibus law, yakni mempercepat harmonisasi regulasi tanpa mengesampingkan asas-asas hukum yang berlaku. Dalam hal ini, penting bagi semua pemangku kepentingan untuk terlibat dalam proses evaluasi dan revisi, guna memastikan bahwa setiap perubahan yang diusulkan tidak hanya efisien tetapi juga adil dan transparan. Pengkajian yang mendalam ini diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang lebih sinkron dan responsif terhadap dinamika perubahan sosial dan ekonomi, sambil tetap menjaga prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan hak-hak masyarakat.
Pembahasan
Penerapan konsep Omnibus Law pada Peraturan Daerah (Perda) membawa dampak yuridis yang cukup signifikan, khususnya terkait harmonisasi regulasi dan peningkatan efisiensi dalam proses perizinan. Konsep ini bertujuan untuk merampingkan berbagai aturan yang sebelumnya terfragmentasi, sehingga memungkinkan penyusunan Perda berlangsung lebih cepat dan terstruktur. Dengan adanya aturan yang terpadu, pelaku usaha diharapkan dapat menjalankan operasinya tanpa hambatan berupa regulasi yang saling bertentangan. Namun, meskipun menawarkan berbagai keuntungan, penerapan Omnibus Law juga menghadirkan sejumlah tantangan. Salah satu isu utama adalah potensi terabaikannya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat dan kelestarian lingkungan. Selain itu juga, penerapan konsep Omnibus Law dalam peraturan daerah (Perda) menghadirkan sejumlah implikasi yuridis yang cukup signifikan. Adapun beberapa implikasi yuridis tersebut di antaranya sebagai berikut:
Penyederhanaan Dan Harmonisasi Regulasi
Penyederhanaan dan harmonisasi regulasi merupakan elemen strategis dalam mengatasi permasalahan tumpang tindih dan ketidakharmonisan antar Peraturan Daerah (Perda), khususnya setelah diimplementasikannya Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang tersebut dirancang untuk merasionalisasi kerangka regulasi yang ada, sehingga mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam mendukung akselerasi pembangunan ekonomi nasional. Dalam perspektif ini, harmonisasi regulasi diharapkan mampu mewujudkan keselarasan antara kebijakan pemerintah pusat dengan kebijakan pemerintah daerah, yang sering kali menunjukkan tingkat independensi administratif masing-masing. Dengan pencapaian keselarasan tersebut, proses implementasi berbagai regulasi dapat berjalan lebih terkoordinasi serta memberikan dampak yang maksimal bagi masyarakat umum dan lingkungan investasi. Pada akhirnya, langkah ini diharapkan menjadi katalisator bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Pengaruh Terhadap Otonomi Daerah
Penggunaan metode Omnibus Law dalam kebijakan legislasi di Indonesia memiliki dampak signifikan terhadap otonomi daerah, terutama dalam hal penarikan kembali beberapa kewenangan yang sebelumnya dimiliki oleh pemerintah daerah. Dengan adanya regulasi yang lebih tinggi, pemerintah pusat dapat mengambil alih atau menyesuaikan aturan-aturan daerah guna mencapai tujuan investasi yang dianggap lebih strategis.
Hal ini menciptakan kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa mengikis hak otonomi daerah, karena pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk membatalkan atau merevisi Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap menghambat investasi. Akibatnya, sinergi antara pengembangan lokal dan kebutuhan investasi nasional menjadi semakin kompleks, di mana pemerintah daerah mungkin kehilangan kemampuan untuk mengatur dan mengelola sumber daya daerah secara mandiri, yang pada gilirannya dapat mengurangi ruang bagi inovasi dan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Delegasi Norma
Delegasi norma menjadi salah satu elemen yang krusial dalam sistem hukum di Indonesia, terutama dalam kerangka otonomi daerah. Dengan diberlakukannya undang-undang pusat berbasis pendekatan Omnibus Law, pemerintah daerah dituntut untuk menyesuaikan serta memperbarui peraturan daerah (Perda) mereka guna mengakomodasi norma-norma baru yang diperkenalkan.
Langkah ini bertujuan untuk menyinergikan regulasi di tingkat pusat dan daerah, sehingga dapat mengatasi potensi tumpang tindih aturan sekaligus meningkatkan kepastian hukum. Dalam implementasinya, pemerintah daerah harus mengambil langkah aktif dengan merevisi peraturan yang sudah ada, agar selaras dengan ketentuan undang-undang pusat yang berlaku. Tidak hanya itu, upaya penyesuaian ini juga menjadi bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap kebijakan nasional dalam rangka mendorong pembangunan yang lebih optimal, efektif dan efisien di semua ini.
Pembaruan Metodologi Pembentukan Perda
Pembaruan metodologi pembentukan Peraturan Daerah (Perda) merupakan suatu langkah yang penting dalam memperbaiki proses penyusunan regulasi di tingkat daerah. Konsep ini memperkenalkan metode baru yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pembuatan kebijakan lokal. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan kesiapan dari berbagai pihak, termasuk perancang, analis legislatif, serta tenaga ahli yang bekerja di pemerintahan daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan adanya pembaruan ini, diharapkan proses penyusunan Perda menjadi lebih transparan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, serta mampu memenuhi standar hukum dan administrasi yang berlaku. Implementasi metode baru ini dapat meningkatkan kualitas regulasi dan memperkuat peran daerah dalam pembangunan.
Potensi Sengketa Kewenangan
Pengaturan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia sering kali mengalami kebingungan, terutama ketika kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh pemerintah daerah ditarik kembali oleh pemerintah pusat.
Situasi ini bisa menyebabkan ketidakseimbangan dalam pelaksanaan otonomi daerah, di mana pemerintah daerah seharusnya memiliki hak untuk mengatur dan mengelola urusan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan lokal. Penarikan kewenangan ini berpotensi memicu sengketa antara pemerintah pusat dan daerah, yang tidak jarang harus diselesaikan di Mahkamah Agung. Proses penyelesaian sengketa ini dapat memakan waktu dan sumber daya, serta mengganggu pelayanan publik dan pembangunan daerah, karena ketidakpastian mengenai kewenangan yang seharusnya dijalankan. Oleh karena itu, penting untuk memiliki regulasi yang jelas dan tegas agar pengaturan kewenangan ini dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah.
Dasar Hukum Omnibus Law Di Daerah
Dasar hukum penerapan metode Omnibus Law di daerah diperkuat melalui perubahan kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Perubahan tersebut memberikan legitimasi bagi pemerintah daerah untuk mengintegrasikan berbagai regulasi dalam satu paket kebijakan, sehingga memudahkan proses birokrasi dan meningkatkan efektivitas pengaturan. Penerapan metode ini bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dengan mengurangi tumpang tindih peraturan. Dengan adanya dasar hukum yang jelas, pemerintah daerah diharapkan dapat lebih fleksibel dalam menyusun dan melaksanakan peraturan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, tanpa mengabaikan prinsip transparansi dan partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan.
Selain implikasi yuridis yang telah dijelaskan sebelumnya, mekanisme penerapan konsep Omnibus Law dalam pembentukan Peraturan Daerah (Perda) umumnya masih mengikuti proses yang berlaku, tetapi dengan penekanan pada aspek konsolidasi dan penyederhanaan. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan efisiensi dalam proses legislasi, sehingga berbagai regulasi yang saling terkait dapat diintegrasikan dalam satu paket hukum. Dengan demikian, diharapkan akan mengurangi tumpang tindih peraturan serta memudahkan masyarakat dalam memahami dan mematuhi ketentuan hukum yang ada. Melalui penyederhanaan ini, diharapkan proses pembuatan Perda menjadi lebih responsif dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat lokal serta mampu mendukung upaya pembangunan yang berkelanjutan di setiap daerah. Adapun mekanisme penerapan konsep Omnibus Law sebagai berikut:
Perencanaan
Penggunaan metode Omnibus Law dalam penyederhanaan regulasi di Indonesia harus diawali dengan kegiatan penyelarasan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah. Kegiatan penyelarasan peraturan perundang-undangan ini penting agar semua peraturan yang ada dapat disesuaikan dengan kebijakan baru yang akan diterapkan melalui Omnibus Law sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau ketidakpahaman di antara berbagai level pemerintahan. Selain itu, proses ini juga memastikan bahwa kepentingan masyarakat, baik di tingkat lokal maupun nasional, dapat diakomodasi dengan baik. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam fase penyelarasan ini, diharapkan implementasi Omnibus Law dapat berjalan secara efektif dan efisien, mengurangi birokrasi yang berbelit, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di seluruh wilayah Indonesia.
Penyelarasan dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa setiap regulasi yang dihasilkan sejalan dengan tujuan dan kebijakan pemerintah daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, semua daerah diwajibkan untuk menyusun dan melaksanakan Propemperda yang terencana dan terarah. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kejelasan serta konsistensi dalam peraturan yang ditetapkan, sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan mendukung pembangunan daerah. Dengan adanya penyelarasan ini, diharapkan proses pembentukan peraturan daerah dapat berjalan lebih efektif dan efisien, sekaligus mendorong partisipasi publik dalam perumusan kebijakan yang lebih responsif.
Penyusunan Dan Pembahasan
Dalam penyusunan Peraturan Daerah (Perda), pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki tanggung jawab penting untuk mengidentifikasi Perda yang tumpang tindih atau tidak relevan. Proses ini sangat penting untuk memastikan bahwa regulasi yang ada menjadi efektif dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan koordinasi yang intensif antara eksekutif dan legislatif daerah. Dengan kolaborasi yang baik, kedua pihak dapat melakukan analisis mendalam terhadap setiap Perda sehingga dapat menghindari konflik norma dan memperbaiki kerangka hukum daerah. Upaya ini juga menciptakan landasan yang kuat bagi perkembangan kebijakan publik yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Pengesahan Atau Penetapan
Perda yang telah dibahas kemudian disahkan atau ditetapkan oleh Kepala Daerah merupakan salah satu langkah penting dalam proses legislasi di tingkat daerah. Perda atau Peraturan Daerah merupakan produk hukum yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan tujuan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat di daerah tersebut. Setelah melalui serangkaian proses pembahasan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat dan stakeholder terkait, Perda akan disetujui dan diresmikan oleh Kepala Daerah. Pengesahan ini menandai bahwa peraturan tersebut sah dan dapat diimplementasikan, sehingga berdampak langsung pada pengaturan dan pembangunan di daerah. Dengan adanya Perda yang disahkan, diharapkan dapat tercipta tata kelola pemerintahan yang lebih baik serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengundangan
Perda yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah memiliki kekuatan hukum yang penting dalam pemberlakuan peraturan tersebut. Agar perda tersebut dapat berlaku secara efektif, perlu dilakukan proses pengundangan dalam Lembaran Daerah. Pengundangan ini berfungsi untuk memberitahukan masyarakat tentang adanya peraturan baru yang perlu dipatuhi. Tanpa pengundangan, perda tidak dapat dijadikan sandaran hukum, sehingga hak dan kewajiban masyarakat tidak dapat ditegakkan. Selain itu, pengundangan juga memberikan transparansi dan akuntabilitas terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah, sehingga masyarakat dapat mengetahui dan memahami isi dari peraturan tersebut. Oleh karena itu, langkah pengundangan dalam Lembaran Daerah menjadi salah satu tahap penting dalam implementasi perda.
Pengawasan Dan Evaluasi
Setelah ditetapkan, Peraturan Daerah (Perda) wajib disampaikan kepada pemerintah pusat dalam waktu 7 hari untuk dievaluasi atau diklarifikasi melalui proses yang dikenal sebagai executive review. Proses ini bertujuan untuk memastikan bahwa Perda yang ditetapkan oleh pemerintah daerah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta memenuhi kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Evaluasi ini penting agar kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dapat berfungsi secara efektif dan tidak menimbulkan konflik hukum. Selain itu, melalui tahap ini, pemerintah pusat dapat memberikan masukan atau rekomendasi yang mungkin diperlukan untuk perbaikan Perda, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan pembangunan daerah yang selaras dengan kebijakan nasional. Dengan demikian, proses evaluasi ini memainkan peran krusial dalam menciptakan sinergi antara pemerintah daerah dan pusat serta meningkatkan kualitas regulasi yang ada.
Pemerintah pusat memiliki wewenang untuk membatalkan Peraturan Daerah (Perda) apabila Perda tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, seperti undang-undang, atau jika Perda tersebut tidak sesuai dengan kepentingan umum. Hal ini penting untuk memastikan bahwa segala bentuk peraturan yang diterapkan di tingkat daerah tetap konsisten dan selaras dengan kebijakan nasional serta peraturan yang lebih tinggi. Pembatalan Perda ini bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat luas dan menghindari adanya peraturan yang dapat merugikan atau mendiskriminasikan kelompok tertentu. Dengan demikian, peran pemerintah pusat sebagai pengawas dalam pengaturan hukum daerah menjadi krusial untuk menjaga keadilan dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.
Pengujian Yudisial (Judicial Review)
Masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan oleh Peraturan Daerah (Perda) memiliki hak untuk mengajukan permohonan pengujian kepada Mahkamah Agung jika mereka menilai bahwa Perda tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Proses ini bertujuan untuk menjaga keadilan dan kepastian hukum, serta memastikan bahwa semua peraturan yang berlaku tidak melanggar hierarki hukum yang telah ditetapkan. Dengan adanya mekanisme pengujian ini, masyarakat dapat menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan yang dianggap merugikan, sehingga Mahkamah Agung dapat melakukan evaluasi dan memutuskan apakah Perda tersebut sah atau tidak. Upaya ini merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak masyarakat dan kontribusi aktif dalam sistem hukum di Indonesia.
Selain enam mekanisme penerapan konsep Omnibus Law yang telah dijelaskan, penting untuk memperjelas kedudukan metode omnibus law dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Omnibus Law merupakan pendekatan inovatif yang mengintegrasikan sejumlah peraturan ke dalam satu undang-undang, sehingga dapat mempercepat proses legislasi dan mengurangi tumpang tindih regulasi. Dalam konteks hirarki peraturan, undang-undang yang dihasilkan melalui metode omnibus law harus tetap mematuhi prinsip-prinsip konstitusi dan peraturan yang lebih tinggi, termasuk Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, legitimasi dan efektivitasnya sangat tergantung pada bagaimana ia dirumuskan dan diterapkan, serta sejauh mana pendekatan ini dapat diakomodasi dalam sistem hukum yang ada. Dengan demikian, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai dampak dan implikasi penggunaan metode ini terhadap sistem hukum dan tata kelola di Indonesia agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan optimal.
Selain itu juga, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memperjelas penerapan asas-asas hukum preverensi setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (omnibus law). Dalam konteks ini, diperlukan penyesuaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Penyesuaian ini bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip hukum yang mendasari pengaturan pembangunan ekonomi dan investasi dapat diterapkan secara efektif dan efisien. Dengan mengacu pada asas-asas hukum preverensi, pemerintah berharap dapat menciptakan iklim investasi yang lebih baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, langkah-langkah tersebut sangat penting untuk meningkatkan kualitas regulasi di Indonesia dan menjawab tantangan yang muncul dalam proses implementasi omnibus law.





